Senin, 09 Januari 2012

Merantau untuk Mengadu nasib



Sikap hidup “urang awak” yang paling menonjol adalah kebiasaan merantau yang sudah menjadi darah daging sejak zaman dahulu kala.
Secara sederhana merantau adalah meninggalkan kampung halaman/daerah asal untuk  mencari dan memperjuangkan hidup yang lebih baik di daerah lain yang diperhitungkan  cukup menjanjikan untuk  tujuan dasar merubah kehidupan tersebut.

Kalau benar bahwa nenek moyang orang Minang berasal dari kawasan Dongsan di Indochina berabad-abad yang silam, berarti  tindakan merantau mereka yang pertama dulu itu mungkin lebih bersifat “bedol desa” atau migrasi secara bertahap yang berlangsung selama beberapa  tahun atau dekade.
Dipastikan mereka belum mengenal terminologi “migrasi”, “transmigrasi”, “hijrah”, atau “manusia perahu”  pada masa itu. Pelayaran awal ini dapatlah pula diperkirakan tidak sama dengan pelayaran  Cheng Ho yang punya latar belakang politik, budaya, dan  ekonomi, dan di back up oleh  pasukan terlatih dalam suatu armada yang terdiri dari ratusan kapal.

Perbandingan tersebut guna membedakan bahwa merantau awal ini bukanlah suatu ekspedisi militer untuk tujuan penaklukkan atau penjajahan, karena ternyata mereka mendarat di pantai Sumatera, menelusur aliran sungai ke arah hulu, dan membuka  (manaruko) hutan belantara dan menjadikannya perladangan/persawahan  di kawasan yang dinilai potensial untuk bertani.
Inilah pionir-pionir awal yang semangatnya mungkin setara atau malah mengalahkan pionir dari Eropah yang membuka “wild-west” nya Amerika dengan warna kekerasan tersendiri (pengusiran penduduk asli Indian, penggunaan tenaga kera  budak, cowboy dengan pistol di pinggang, dll.).

Semangat merantau awal ini ternyata “keterusan” pada generasi-generasi berikutnya……sampai hari ini.
Semangat ini sangat luar biasa. Kalau di buku bacaan Sekolah Rakyat (SD jadul) orang yang pergi merantau ini digambarkan sebagai seorang anak yang membawa buntelan dari kain sarung yang membungkus perlengkapan minimalnya, dan dipikul dengan sebuah tongkat yang dipanggul di bahu.
Nasihat  bagi perantau muda Minang ini dinyatakan dalam pantun yang menunjukkan strategi pertama kalau mereka sampai di daerah tujuan mereka : “…………..sanak cari saudara cari, induk semang cari dahulu”.
Ini luar biasa, karena inilah yang menjadi dasar suksesnya hijrah Rasulullah ke Madinah : adanya kaum “Anshor” yang akan menjadi pelindung awal. Inilah juga salah satu fungsi sang induk semang.

Disamping itu pengertian “induk semang” dapat juga diartikan sebagai : carilah pekerjaan dahulu dengan Boss yang bersikap melindungi. Merantau dimulai dengan sikap mental dan pembinaan etos kerja yang benar (supaya disayang oleh sang induk semang).
Merantau zaman sekarang sudah sangat dipermudah dengan  kemudahan transportasi , kondisi ekonomi yang relatif lebih baik, dan sudah banyaknya “sanak & saudara” di rantau yang akan dituju.
Tujuan merantaupun sudah beragam pula, mulai dari melanjutkan pendidikan, mengadu nasib di negeri orang, atau diajak anak/menantu bagi mereka yang lansia. Zaman dulu tentunya perantau “lansia” ini sangat minim.
Semangat  merantau yang tak pernah surut inilah yang tampaknya merubah struktur dan komposisi  yang disebut “urang awak” masa kini, dan kondisi kampung halaman yang sering dikeluhkan sebagai “tertinggal”.
Sebagian terbesar balita, kanak-kanak, remaja, professional, sampai pada kaum lansia, yang hari ini ada di ranah Minang pada hakekatnya adalah calon potensial yang “sooner or later” akan berstatus menjadi “urang rantau” pula.

Secara kasat mata sekarang dapat dilihat bahwa seseorang yang tamat SMP, atau SLA, atau perguruan tinggi, atau pegawai, atau pengusaha, atau pengamat politik, atau lansia, atau siapapun , dapat saja setiap saat meninggalkan ranah Minang dan menetap di daerah lain dengan bermacam sebab dan pertimbangan.
Terjadi “brain drain” ? Ya, mulai dari “brain” yang sudah jadi sampai para calon-calon “brain” yang potensial untuk berkembang lebih lanjut (!).

“Urang awak” ada dimana-mana sekarang, di seluruh pelosok Indonesia dan bahkan pelosok dunia, dengan bidang kiprah yang sangat variatif, dan sangat banyak yang “jadi orang” di rantau masing-masing.
Di Institusi atau organisasi di ranah Minang sendiri proses kaderisasi masih terjamin dapat berlangsung. Tapi di dalam kehidupan  masyarakat, proses kaderisasi ini sudah lama tampak tersendat akibat  generasi muda yang secara berkesinambungan terus mengalir berangkat merantau. Nagari-nagari kehabisan kader  orang muda untuk menjadi pimpinan Nagari, penghulu, dan organisasi lainnya di level Nagari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar