Senin, 09 Januari 2012

Tahu Diri Menurut Adat Minangkabau


KARATAU MADANG DIULU
Babuah babungo balun
Ka rantau dagang daulu
Di rumah baguno balun


Berbagai teori mengemukakan bahwa penduduk kepulauan Nusantara berasal dari dataran Asia Tenggara. Dari teori itu dapat diambil kesimpulan bahwa nenek moyang orang Minangkabau sekarang ini pastilah datang melalui jalan panjang merantau dari daratan Asia Tenggara terus melintasi semenanjung Malaysia dalam masa prasejarah.

Sejak masa prasejarah itu sampai kini, orang-orang Minang tetap mewarisi darah perantau. Mereka tetap doyan menjelajahi seantero Nusantara ini, bahkan ke pelosok mancanegara. Mereka merantau dengan selalu membawa hati yang risau. Merasa diri yang belum berguna. Ka rantau dagang daulu – di rumah baguno balun.

Dari pantun ini tersirat bahwa motivasi orang Minang merantau untuk mencari sesuatu yang masih kurang dalam dirinya, dengan harapan bila kekurangan yang dicarinya itu telah ditemukan akan menjadikannya “orang yang berguna” bagi kampung halamannya.

Dari fakta sejarah dapat dilihat terdapat empat sebab yang mendorong orang Minang merantau. Pertama, untuk mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik, dibandingkan dengan penghidupan di kampung halamannya sendiri. Sebelum perang dunia II, banyak orang Minang merantau ke Deli untuk berdagang di wilayah perkebunan Sumatra Timur. Kedua, setelah perang kemerdekaan banyak sekali siswa dan pelajar merantau ke Jawa meneruskan sekolahnya karena belum terdapat sekolah yang setingkat di kampung halamannya sendiri. Ketiga, setelah pemberontakan PRRI / Permesta, banyak pelarian politik dan masyarakat sipil merantau ke Jawa dan ke luar Sumatra menyelamatkan diri dan mencari hidup di luar Sumatra Barat. Keempat, mereka yang tidak disukai dan tidak disenangi di kampung halaman sendiri karena perbuatan mereka yang tercela, terpaksa meninggalkan negerinya untuk merantau ke luar daerah Sumatra Barat.

Ringkasnya tujuan merantau orang Minang adalah untuk mencari hidup, mencari ilmu, mencari tempat yang aman dan nyaman dari huruhara politik, atau melarikan diri dari lingkungannya sendiri karena perangainya buruk.

Buya Hamka sebagai seorang perantau Minang, melukiskan tujuan dan kesedihannya merantau dalam bukunya “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi” sbb:

Aduh Minang
Kalau tidak dirumput sarut
Tidaklah pandai berderai
Kalau tidak disarit hidup
Tidaklah kita bercerai


Kami sendiri menganjurkan pada remaja Minang supaya merantau. Tinggalkan kampung halaman, namun jangan lupa Alam Minangkabau, Ranah Minang, Tanah Pusaka Abadi orang-orang Minang.

Tabang kanari jadikan kasau
Tanaklah nasi dalam taraju
Kambang nagari carilah rantau
Nak sanang hati anak jo cucu


Adat Minangkabau memberikan bekal hidup di rantau bagi segenap perantau Minang seperti disebut dalam pepatah:

Di mano bumi dipijak
Di situ langik dijunjuang
Di sinan rantiang dipatah
Adat di situ nan dipakai

Di kandang kambiang mangembek
Di kandang kabau manguak
Di kandang jawi malanguah
Namun tak usah menjadi jawi


Pepatah di atas mengajarkan kepada para perantau Minang untuk pandai-pandai menempatkan diri dan menyesuiakan diri dalam lingkungan baru di perantauan. Namun dengan tegas pepatah itu mengingatkan pula, supaya perantau Minang harus tegar mempertahankan identitas keminangannya. Adat Minang adalah adat yang bersandi syarak – syarak bersandi Kitabullah. Penyesuain diri dengan lingkungan di rantau tidak berarti melebur identitas diri sebagai Minang. Kalau diajak minum tuak, tolaklah dengan halus dan tegas. Maaf, saya orang Minang-saya orang Islam. Kalau diajak berdansa dansi: Sorry I can’t dance. Odori-nai, sumimasen.

Dengan cara begini tidak akan dikucilkan dari pergaulan di rantau, malah akan dihargai karena kita tetap menjunjung tinggi ajaran adat dan agama. Percayalah. Di kandang jawi memang kita harus melenguh, namun jangan sekali-kali mau menjadi jawi. Di kandang kerbau kita memang harus menguak, tapi jangan sekali kali mau menjadi kerbau.

Manyauak di ilia-ilia
Mengecek di bawah-bawah
Kok duduak di nan randah


Apa artinya? Pepatah di atas berarti bahwa sebagai perantau yang hidup dalam lingkungan budaya lain, maka sebagai kelompok pendatang yang minoritas harus tahu diri dan harus pandai menempatkan diri.

Manyauak di ilia-ilia tidak berarti kita harus merasa rendah diri, tetapi justru kita harus menunjukkan bahwa kita adalah orang yang tahu diri sebagai pendatang di kampung orang.

Apakah kita sebagai pendatang akan selalu manyauak di ilia-ilia (menyauk air di hilir-hilir), sangat tergantung pada perkembangan selanjutnya.

Bila dalam waktu singkat kita dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, malah bila bisa menjadi manusia teladan dan tokoh masyarakat di lingkungan baru itu, maka tidak jarang orang Minang menjadi imam mesjid, ketua ormas, pemuka masyarakat bahkan tidak mustahil orang Minang bisa menjadi anggota DPRD wilayah di luar Sumatra Barat.

Pada saat itu ia sudah duduk sama rendah, tegak sama tinggi di lingkungan baru itu. Mungkin sekali dia tidak perlu lagi manyauak di ilia-ilia tapi malah sangat mungkin disauak-an di ulu-ulu didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, diangkat menjadi pemimpin bagaikan penghulu di lingkungan yang baru itu.

Sifat rendah hati sama sekali berbeda dengan sifat rendah diri dalam arti kata “inferior”. Rendah hati sifatnya perpuji, sedangkan rendah diri jelas penyakit yang perlu dihindari (inferiority complex) yang sangat merugikan pribadi kita sendiri.

Pesan bagi remaja Minang yang kurang paham bahasa Minang arti pepatah di atas dalam bahasa Indonesia sbb:

Di mana bumi dipijak
Di situ langit dijunjung
Di situ ranting dipatah
Adat di situ yang dipakai

Di kandang kambing mengembek
Di kandang kerbau menguak
Di kandang sapi melenguh
Namun tak usah menjadi sapi

Menyauk aia di hilir sungai
Berbicara bersahaja
Kalau duduk di tempat yang rendah


Dengan tingkah laku semacam itu, diharapkan orang akan senang menerima kehadiran kita di tengah-tengah lingkungan masyarakat mereka. Kita akan diperlukan sebagai dunsanak mereka. Mereka akan membawa kita sehilir-semudik dalam pergaulan. Berat akan sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Merantau untuk Mengadu nasib



Sikap hidup “urang awak” yang paling menonjol adalah kebiasaan merantau yang sudah menjadi darah daging sejak zaman dahulu kala.
Secara sederhana merantau adalah meninggalkan kampung halaman/daerah asal untuk  mencari dan memperjuangkan hidup yang lebih baik di daerah lain yang diperhitungkan  cukup menjanjikan untuk  tujuan dasar merubah kehidupan tersebut.

Kalau benar bahwa nenek moyang orang Minang berasal dari kawasan Dongsan di Indochina berabad-abad yang silam, berarti  tindakan merantau mereka yang pertama dulu itu mungkin lebih bersifat “bedol desa” atau migrasi secara bertahap yang berlangsung selama beberapa  tahun atau dekade.
Dipastikan mereka belum mengenal terminologi “migrasi”, “transmigrasi”, “hijrah”, atau “manusia perahu”  pada masa itu. Pelayaran awal ini dapatlah pula diperkirakan tidak sama dengan pelayaran  Cheng Ho yang punya latar belakang politik, budaya, dan  ekonomi, dan di back up oleh  pasukan terlatih dalam suatu armada yang terdiri dari ratusan kapal.

Perbandingan tersebut guna membedakan bahwa merantau awal ini bukanlah suatu ekspedisi militer untuk tujuan penaklukkan atau penjajahan, karena ternyata mereka mendarat di pantai Sumatera, menelusur aliran sungai ke arah hulu, dan membuka  (manaruko) hutan belantara dan menjadikannya perladangan/persawahan  di kawasan yang dinilai potensial untuk bertani.
Inilah pionir-pionir awal yang semangatnya mungkin setara atau malah mengalahkan pionir dari Eropah yang membuka “wild-west” nya Amerika dengan warna kekerasan tersendiri (pengusiran penduduk asli Indian, penggunaan tenaga kera  budak, cowboy dengan pistol di pinggang, dll.).

Semangat merantau awal ini ternyata “keterusan” pada generasi-generasi berikutnya……sampai hari ini.
Semangat ini sangat luar biasa. Kalau di buku bacaan Sekolah Rakyat (SD jadul) orang yang pergi merantau ini digambarkan sebagai seorang anak yang membawa buntelan dari kain sarung yang membungkus perlengkapan minimalnya, dan dipikul dengan sebuah tongkat yang dipanggul di bahu.
Nasihat  bagi perantau muda Minang ini dinyatakan dalam pantun yang menunjukkan strategi pertama kalau mereka sampai di daerah tujuan mereka : “…………..sanak cari saudara cari, induk semang cari dahulu”.
Ini luar biasa, karena inilah yang menjadi dasar suksesnya hijrah Rasulullah ke Madinah : adanya kaum “Anshor” yang akan menjadi pelindung awal. Inilah juga salah satu fungsi sang induk semang.

Disamping itu pengertian “induk semang” dapat juga diartikan sebagai : carilah pekerjaan dahulu dengan Boss yang bersikap melindungi. Merantau dimulai dengan sikap mental dan pembinaan etos kerja yang benar (supaya disayang oleh sang induk semang).
Merantau zaman sekarang sudah sangat dipermudah dengan  kemudahan transportasi , kondisi ekonomi yang relatif lebih baik, dan sudah banyaknya “sanak & saudara” di rantau yang akan dituju.
Tujuan merantaupun sudah beragam pula, mulai dari melanjutkan pendidikan, mengadu nasib di negeri orang, atau diajak anak/menantu bagi mereka yang lansia. Zaman dulu tentunya perantau “lansia” ini sangat minim.
Semangat  merantau yang tak pernah surut inilah yang tampaknya merubah struktur dan komposisi  yang disebut “urang awak” masa kini, dan kondisi kampung halaman yang sering dikeluhkan sebagai “tertinggal”.
Sebagian terbesar balita, kanak-kanak, remaja, professional, sampai pada kaum lansia, yang hari ini ada di ranah Minang pada hakekatnya adalah calon potensial yang “sooner or later” akan berstatus menjadi “urang rantau” pula.

Secara kasat mata sekarang dapat dilihat bahwa seseorang yang tamat SMP, atau SLA, atau perguruan tinggi, atau pegawai, atau pengusaha, atau pengamat politik, atau lansia, atau siapapun , dapat saja setiap saat meninggalkan ranah Minang dan menetap di daerah lain dengan bermacam sebab dan pertimbangan.
Terjadi “brain drain” ? Ya, mulai dari “brain” yang sudah jadi sampai para calon-calon “brain” yang potensial untuk berkembang lebih lanjut (!).

“Urang awak” ada dimana-mana sekarang, di seluruh pelosok Indonesia dan bahkan pelosok dunia, dengan bidang kiprah yang sangat variatif, dan sangat banyak yang “jadi orang” di rantau masing-masing.
Di Institusi atau organisasi di ranah Minang sendiri proses kaderisasi masih terjamin dapat berlangsung. Tapi di dalam kehidupan  masyarakat, proses kaderisasi ini sudah lama tampak tersendat akibat  generasi muda yang secara berkesinambungan terus mengalir berangkat merantau. Nagari-nagari kehabisan kader  orang muda untuk menjadi pimpinan Nagari, penghulu, dan organisasi lainnya di level Nagari.

Pantun Sebagai Nyanyian di Minangkabau



Didalam pertunjukan dendang, nyanyian pada umumnya berbentuk pantun, berwujud baris atau lirik (curahan perasaan) yang dikelompokkan menjadi bait, untaian. Berkaitan dengan pengertian pantun, Navis dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru mengatakan:
Pantun, sama maknanya dengan umpama. Sepantun sama dengan seumpama, seperti yang ditemukan pula dalam bahasa Melayu yang sering menyebut kami sepantun anak itik, kasih ayam maka menjadi atau tuan sepantun kilat cermin dibalik gunung tampak jua (1984:233).

Zuber Usman dalam suatu diskusi pada seminar kesenian Minangkabau di Batusangkar (1970) mengatakan bahwa, pantun berasal dari kata petuntun (pa- tuntun = penuntun) yang artinya sama dengan umpama atau perumpamaan. Perubahan bunyi patuntun menjadi pantun adalah hal yang lazim dalam bahasa Minangkabau. Poerwodarminto dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia mengatakan:
Pentun 1. sb. Sajak pendek, tiap-tiap kuplet biasanya empat baris (ab, ab) dan dua baris yang dahulu biasanya untuk tumpuan saja; 2. pribahasa sindiran; 3. jawab (pd. tuduhan) dan sebagainya; berpantun (pantunan): menyanyikan (membawakan) pantun bersahut-sahutan; memantuni; menyindir dengan pantun; memantunkan: mengarang pantun; mengatakan dan sebagainya dengan pantun; pemantun: pengarang pantun (1984:710).

Pantun terdiri dari beberapa baris dalam jumlah yang genap, dari dua baris sampai dua belas baris; separoh jumlah baris permulaan disebut sampiran, separoh berikutnya adalah isi pantun yang sesungguhnya. Fungsi sampiran adalah sebagai pengantar pada isi, bunyi, dan iramanya. Pantun yang sempurna adalah apabila sampirannya mengandung unsur tersebut.

Di samping berbentuk pantun, didapati juga teks nyanyian yang berbentuk talibun, yaitu karya puisi yang juga berwujud baris: enam, delapan, sepuluh dan seterusnya; biasanya dalam jumlah yang genap. Dapat dikatakan bersajak ab-ab untuk pantun yang berjumlah empat baris, abc-abc untuk yang enam baris dan abcd-abcd untuk pentun yang berjumlah delapan baris.

Ditinjau dari segi isinya, isi pantun dendang dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu: pantun nasehat, pantun muda, pantun gembira, pantun kiasan, pantun adat, pantun bebas, pantun jenaka, dendang kaba, pantun tua, pantun duka dan pantun suka. Pantun nasehat adalah jenis pantun yang lebih banyak berisikan nasehat orang tua kepada anaknya, mamak kepada kemenakannya atau nasehat untuk anak-anak muda. Pantun nasib ditandai dengan isi pantun yang menyatakan kesulitan hidup, kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan, kehinaan dan sebagainya. Pantun muda adalah pantun yang isinya menggambarkan masalah-masalah hubungan muda-mudi, percintaan, kerinduan terhadap kekasih dan semacamnya. Pantun gembira adalah suatu bentuk pantun yang menggambarkan rasa suka cita terhadap sesuatu. Pantun kiasan adalah jenis pantun yang isinya lebih banyak berupa kiasan. Pantun adat adalah pantun yang baik sampiran maupun isinya terdiri dari pepatah- petitih atau kata-kata adat yang dijadikan pegangan hidup masyarakat Minangkabau.

Pantun bebas adalah jenis pantun dimana sampiran dan isi pantun dibuat secara bebas, tergantung pada suasana dimana pantun itu di dendangkan; sampiran dan isi pantun keluar secara spontan. Walaupun bebas, tetapi pantun tersebut mempunyai sampiran dan isi sebagaimana kaidah sebuah pantun. Pantun jenaka adalah jenis pantun yang lebih banyak digunakan untuk berolok-olok atau mempermainkan seseorang melalui kata-kata. Biasanya isi pantun tidak terjadi sebagaimana digambarkan dalam pantun tersebut.
Berdasarkan kesan yang ditimbulkan dan kegunaannya dalam masyarakat, musik vokal yang berkembang di Minangkabau dapat dikelompokan atas lima bentuk, yaitu: dendang ratok, dendang kaba, dendang gembira, salawat/dikie dan baindang (Syarif, 1983:7). Dendang ratok adalah pembagian jenis dendang di Minangkabau yang didasarkan atas melodi dendang tersebut yang terdengar sedih dan isi pantunnya berhiba-hiba, menyadari nasib yang malang, kesengsaraan hidup dan sebagainya. Dendang kaba adalah jenis dendang yang digunakan untuk menceritakan kaba (cerita rakyat Minangkabau masa dahulu). Dendang gembira adalah jenis dendang yang sifatnya gembira. Salawat talam adalah salah satu musik vokal yang berkembang di Minangkabau dimana pada masa dahulunya digunakan untuk syiar agama Islam. Lagu-lagu yang dibawakan pada umumnya berbahasa Arab.

Dalam perkembanganya sekarang lebih banyak difungsikan untuk keperluan hiburan dengan menggunakan bahasa daerah. Instrumen musik yang digunakan untuk keperluan salawat talam ini adalah Dikie atau rebana dan ada juga yang menggunakan Talam. Jenis musik ini sering juga disebut Badikie. Baindang (berindang) adalah berdendang bersahut-sahutan antara dua orang penyanyi yang berasal dari dua kelompok pemain Indang. Pertunjukan indang ini biasanya diiringi dengan instrumen musik yang dinamakan Rapa’i.

7 Cara Hemat Baterai Smartphone

Bagi pengguna smartphone dan memilih perjalanan darat, satu yang jadi perhatian barangkali adalah ketahanan baterai. Ya, smartphone memang cukup haus daya. Bagaimana cara agar baterai smartphone awet? Terlebih, mengisi ulang baterai mungkin agak sulit dalam perjalanan. Simak tips berikut:

1. Matikan koneksi 3G jika tidak dibutuhkan

Koneksi 3G lebih ngebut ketimbang EDGE atau GPRS. Namun daya yang dibutuhkan juga lebih besar. Saat mudik, tak ada salahnya koneksi ke 3G dimatikan jika yang lebih banyak dilakukan hanya telepon, SMS dan sesekali memeriksa email. Koneksi EDGE agaknya cukup memenuhi kebutuhan. Lagipula mungkin masih banyak jalur mudik yang belum tercover 3G.

2. Matikan fitur yang tidak diperlukan

Fitur seperti WiFi, Bluetooth, sebaiknya dimatikan karena kemungkinan besar tidak terlalu diperlukan dalam aktivitas mudik. Fitur pemetaan dengan GPS mungkin akan sangat membantu jika tersesat dan ingin mengetahui jalur. Namun GPS dapat 'memakan' baterai dengan cepat. Jadi gunakan secara bijak.

3. Kunci layar dan turunkan brightness

Khususnya di ponsel layar sentuh, mengunci layar saat tidak dipakai perlu dilakukan agar sentuhan tidak mengaktifkan ponsel dan memboroskan baterai. Lalu, menurunkan setting brightness sampai level minimum yang masih bisa dilihat mata bakal membuat baterai lebih awet. Persingkat pula setting jangka waktu layar menyala.

4. Minimalisir main game, mendengarkan musik dan akses aplikasi

Pada saat mudik, kegunaan smartphone yang paling utama barangkali adalah untuk tetap dapat terhubung dengan rekan atau keluarga di kampung halaman. Maka, ada baiknya untuk menahan diri tidak mengakses hiburan yang haus daya seperti game atau aplikasi tertentu di smartphone.

5. Download aplikasi penghemat baterai

Terdapat beberapa aplikasi penghemat baterai yang bisa diunduh sebelum melakukan mudik. Aplikasi ini dapat membantu menghemat baterai dengan praktis dan mudah. Pengguna BlackBerry bisa mengunduh NB BattStat atau yang lain. Di iPhone, ada Battery Go. Sedangkan di Android, ada aplikasi Juice Defender dan sebagainya.

6. Matikan vibration

Biasanya fitur getaran atau vibration memakan lebih banyak daya ketimbang ringtone. Jadi ada baiknya memilih ringtone saja sebagai penanda ketimbang mengaktifkan vibrasi smartphone.

7. Matikan smartphone saat tidak dibutuhkan

Tidak setiap waktu para pemudik dapat melayani panggilan. Misalnya saat melalui wilayah blankspot (tak ada sinyal) atau ingin lebih berkonsentrasi mengemudi hingga beristirahat di malam hari untuk memulihkan tenaga. Tidak ada salahnya pada saat itu, smartphone dimatikan untuk menghemat baterai.

5 Kiat Aman Belanja Online


1. Bookmark lah situs belanja yang resmi sebagai informasi penting saat ingin mencari barang di dalam situs tersebut. Ini meminimalisir kemungkinan Anda tertipu dengan situs jahat jika mencarinya melalui search engine. Anda bisa mencatat alamat situs resminya dari iklan mereka di media atau informasi terpercaya lainnya

2. Hati-hati dengan kiriman penawaran barang dan diskon besar melalui email. Rata-rata email spam seperti ini membawa link palsu dan attachment yang isinya bisa jadi akan menginfeksi komputer Anda

3. Cek dan verifikasi kembali jika Anda dikirimi penawaran yang tidak masuk akal melalui notifikasi SMS, email, Facebook, atau Twitter, sebelum meng-klik sebuah link promosi. Anda bisa menelepon layanan pelanggan situs belanja tersebut untuk memastikan penawaran atau promosinya sedang berlangsung

4. Periksa ulang kembali untuk halaman pembayarannya. Jika pembayaran melalui pihak ketiga (eBay atau PayPal) pastikan Anda berada pada alamat yang benar, jangan sampai data kartu kredit Anda dicuri dan disalahgunakan.

Ada baiknya pilihlah situs belanja yang menggunakan sistem transfer antar bank atau pembayaran langsung (cash on delivery) dengan debit atau kartu kredit.

5. Jika Anda termasuk penggila belanja, tidak ada salahnya menginstal software keamanan yang bisa memblok aksi para peretas dan menjamin Anda masuk ke dalam situs belanja yang aman.

Minggu, 08 Januari 2012

Pertumbuhan Penduduk


Mengingat begitu dra­matis­nya pertambahan pen­duduk Indonesia se­dang­kan ketahanan pangan pe­r­tum­buhannya me­rosot kebelakang.
Pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 4 juta jiwa lebih pertahunnya, hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura. Pertumbuhan pen­duduk yang pesat itu sangat mengkuatirkan pada tingkat kesejahteraan, secara langsung akan ikut memperbanyak angka pengangguran. Di Indo­nesia, pertahunnya tidak kurang 10 juta jiwa usia angkatan kerjanya menganggur. Dari 31% penduduk Indonesia yang miskin, penyumbang terbesar kemiskinan itu adalah pe­ngangguran.
Masalah pengangguran terjadi di banyak negara, khususnya negara miskin dan berkembang, tentu saja termasuk Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan kesempatan kerja merupakan faktor dominan terjadinya pengangguran disamping karena faktor yang lain diantaranya : rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya investasi, kemalasan manusia, melemahnya kepercayaan pihak luar negeri dll. Tingginya pengangguran sebagai tolak ukur rendahnya produksi dan berakibat pada minimnya jumlah barang, bahkan terjadi kelangkaan produk yang dibutuhkan masyarakat, tentu saja hal ini akan berdampak pada naiknya harga barang pada umumnya yang kita kenal dengan inflasi. Negara manapun di dunia ini akan berusaha menstabilkan perekonomiannya dengan upaya utamanya melalui pengendalian laju inflasi.
Semestinya, lonjakan pen­duduk harus diiringi dengan ketersediaan peningkatan ku­lai­tas manusia seperti ter­sedianya pendidikan, kesehatan migas dan pangan yang cukup. Ketimpangan antara sarana pendukung peningkatan kua­litas hidup manusia itu dengan pertumbuhan penduduk akan berdampak terhadap ketidak berkualitasan manusia. Hal ini, sedang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendalikan dan sarana pendukung kualitas hidup yang tak terbenahi, ternyata telah terbukti kepada rendahnya kualitas hidup orang Indonesia.
Saat ini, kualitas hidup orang Indonesia berada pada level 124 dari 187 negara yang disurvei. Di Asean kualitas hidup orang Indonesia berada di bawah Singapur, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filippina. Sebuah potret kualitas yang mengkuatirkan dalam meng­hadapi masa depan. Jika hal ini, dibiarkan tentu ini menjadi polemik yang kursial oleh bangsa ini untuk bersaing dengan negara-negara te­tang­ganya.
Di samping itu, ia juga akan menjadi beban bagi bangsa karena bangsa ini tidak dikelola oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Kekuatiran besar jika hal ini dibiarkan, bangsa ini akan kehilangan modal sosial, modal fiskal dan budaya untuk  pengelolaan negara dan bangsa. Tidak hayal, tantangan terbesar kedepan adalah bukan kolonial yang menjajah tetapi rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh sebab itu, bangsa ini perlu membangun kembali model-model pengendalian angka kelahiran, untuk me­ngawasi lonjakan pendudukan yang takterkendali itu, kalau tidak, ada kekuatiran besar bangsa yang berpenduduk 240 juta jiwa ini akan mengalami krisis kualitas hidup.
Apalagi dengan kondisi saat sekarang, dimana lonjakan itu semakin nampak jelas tidak berimbang dengan ketersediaan pangan yang cukup di negara ini. Di mana bangsa yang terkenal subur dan makmur ini, tidak mempersiapkan diri untuk membangun ketahanan pangannya dalam menghadapi pertumbuhan penduduk yang cepat itu.
Krisis pangan sedang meng­hantui bangsa, ancaman ter­hdap kegagalan-kegagalan sektor pertanian begitu dramatis, mulai dari anomali cuaca yang menggalkan panen sampai pada terjadi alihguna lahan pertanian yang begitu dahsyat serta tak adanya minat bagi generasi muda bangsa ini untuk menge­lola pertanian secara pro­fesional. Aspek-aspek tersebut, telah menyeret sektor pertanian di Indonesia tidak berkelayakan dalam membangun ke­ter­se­diaan pangan yang cukup.
Anomali cuaca misalnya, ternyata faktor yang sangat besar mempengaruhi krisi pangan di negara ini, ditambah lagi bencana alam yang terjadi di mana-mana menggagalkan panen tentu semakin mem­perparah kelangkaan pangan di negara ini. Di samping itu, alih guna lahan pertanian yang tidak terkontrol telah mem­perkecil lahan pertanian. Pengaliggunaan lahan pertanian itu sedang terjadi dimana-mana. Lahan pertanian berganti de­ngan lahan industri-industri, perumahaan, pasar dan se­bagainya. Tanpa sadar, hal itu telah berpengaruh pula ter­hadap pola kehidupan masya­rakat, dari pola pertanian menjadi pola modern ping­giran. Modern pinggiran, yang mudah terkontaminasi oleh kepentingan dan gaya hidup hedonis. Setidaknya terlihat dari pola makannya yang berubah dengan cepat menjadi siap saji dan instanisasi.
Lebih tragis lagi dialami oleh dunia pertanian adalah, mengecilnya semangat anak muda untuk terjun mengelola pertanian secara profesional. Hal ini terlihat dari rendahnya minat generasi muda memilih fakultas pertanian sebagai tempat menimba ilmu penge­tahuan, sering terjadi setiap tahunnya tidak terpenuhinya kuota yang disediakan oleh fakultas-fakultas pertanian oleh calon mahasiswa. Oleh sebab itu, kita kehilangan anak-anak muda yang inovatif dalam membangun pertanian. Bangsa kita akan kehilangan pula, ilmuan-ilmuan yang mampu mengembangkan varietas-varietas benih unggul untuk menjawab tantantan pangan kita dimasa yang akan datang.