Selasa, 10 Mei 2011

TEMPAT TONGKRONGAN


TEMPAT TONGKRONGAN
(KAFE)


 Nongkrong di kafe atau kedai kopi kini sudah menjadi bagian gaya hidup yang tak terpisahkan warga metro Surabaya. Tak pelak lagi kafe kopi pun  semakin bermunculan untuk menangkap peluang dampak modernitas perilaku warga itu.
Suasana  nyaman dan artistik, fasilitas hotspot area dengan  suguhan kopi plus camilan ringan membuat RIDO, eksekutif di sebuah perusahaan telekomunikasi  rela menghabiskan waktu berlama-lama  di sebuah kafe  kopi di pusat perbelanjaan. Secangkir kopi hangat ia seruput dalam-dalam sambil ngobrol dengan rekan kerjanya.
“Saya termasuk pengila kopi. Mau  sedang kerja, santai, sehabis makan atau aktivitas lainnya harus ditemani kopi..
Saya hanyalah satu dari sekian warga metropolis yang menjadikan ngopi sebagai suatu perilaku rutinitas gaya hidupnya. Bahkan perilaku   tidak lagi hanya didominasi laki-laki atau kaum tua, tapi mulai digemari kalangan  muda-mudi, eksekutif muda hingga ibu-ibu rumah tangga.Bahkan seiring dengan meningkatnya mobilitas hidup dan modernitas perilaku, kafe kopi pun kini menjadi wadah pertemuan startegis dengan rekan bisnis, arisan, serta tempat nongkrong warga metro.
Sebenarnya budaya ngopi ini sendiri sudah ada di Amerika Serikat sejak tahun 1971 ketika kedai kopi Starbucks yang terkenal itu untuk pertama kalinya dibuka di Pike Place, Seattle. Semula pengunjung yang datang ke kedai kopi itu adalah kaum pria. Mereka berkumpul sehabis jam kerja untuk sekedar melepas penat dengan secangkir kopi dan teman ngobrol yang juga sesama pengunjung.
Lama-kelamaan budaya ngopi ini menyebar ke seluruh penjuru Amerika dan akhirnya menjalar ke Eropa. Pengunjung kedai kopi pun tak lagi didominasi kaum pria tapi juga wanita dan bahkan kalangan remaja. Kedai kopi pun lebih dikenal dengan sebutan café untuk menggambarkan identitasnya sebagai wadah sosialisasi lewat kopi. Starbucks sebagai pelopor kedai kopi gaul pun berhasil melebarkan sayapnya dan membuka hingga 5.886 kedai di seluruh dunia, termasuk Jakarta dan Surabaya.

Kopi Luwak
Demi sebuah gaya hidup itu para penggemar kopi rela harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah. Ini mengingat harga kopi di mal paling murah Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per cangkir.
Sebut saja, ngopi di Rollas Cafe di Tunjungan Plaza untuk menikmati secangkir kopi luwak yang spesial  harus merogoh Rp 100 ribu. Lantaran ukuran cangkirnya berukuran kecil tidak jarang banyak harus menambah  berkali-kali. Bisa dibayangkan berapa rupiah habis untuk membayar kenikmatan ngopi di cafe.
Ido, seorang  pengunjung Rollas Cafe mengaku kalau  kehidupannya tidak bisa dilepas dari minum kopi. Apapun aktivitasnya tidak pernah dilewatkan meneguk secangkir kopi. Sebagai pecinta kopi atau coffee lover pastinya Alex tidak ingin sembarang minum kopi. “Saya mau selalu mendapatkan kopi terbaik, salah satunya kopi luwak,” katanya.
Karyawan di sebuah bank swasta ini mengaku, kerap harus  menghabiskan duit jutaan rupiah untuk menikmati setiap saat kopi spesial. “Kalau saya biasanya minum kopi di sini bisa lebih dari dua gelas. Belum lagi kalau pas ngajak ngopi bareng ya pasti Anda tahu berapa harus dikeluarkan,” katanya.
Adanya tren gaya hidup ngopi ini dibenarkan Store Supervisor Rollas Café & Tea, Wirawan Meidianto.  Bahkan, katanya,  penghobi ngopi di mal makin hari makin meningkat. Di setiap hari kerja, sejumlah kafe kopi selalu ramai dikunjungi baik itu orangtua maupun eksekutif muda.
”Biasanya di sini paling ramai pada hari kerja para eksekutif muda dan pengusaha lebih sering mongkrong atau makan siangsambil menikmati secangkir kopi,” kata Wirawan.
Ia sebutkan, paling tidak setiap hari kerja ada sekitar  20-30 orang  nongkrong di kafenya. Bahkan kalau sedang ramainya bisa sampai 50 orang lebih.
”Sebagian lebih memilih meneguk kopi hitam terutama kopi luwak dan kopi lanang yang menjadi andalan kami,” ujarnya.
Sementara saat  hari libur pengunjungnya lebih didominasi anak muda. Mereka lebih memilih kopi mix atau campuran dibandingkan kopi hitam.
Senada dengan Wirawan,  Manager Store Tator, Hendra mengatakan, pelanggan di kafenya  memang lebih banyak pada hari kerja sedangkan untuk hari libur lebih banyak anak mudanya. ”Pada hari kerja justru kafe ini ramai dikunjungi, terutama orang tua di atas umur 30-an. Biasanya mereka sehabis makan siang selalu dilanjutkan dengan ngopi terutama kopi hitam” terang Hendra.
Menurut  Hendra, kalau ngopi belum menjadi bagian gaya hidup warga Surabaya dipastikan banyak kafe di Surabaya tak mampu bertahan lama. Justri kini sebaliknya jumlah kafe  ngopi baru terus bermunculan, mulai dari kelas pinggiran hingga kelas atas. ”Yang pasti, jumlah pelanggan kami yang datang setiap hari sudah mampu menutupi seluruh biaya operasional,” kata Hendra enggan menyebutkan omzetnya.
Singkat kata, budaya ngopi telah menjadi identitas baru warga Surabaya  yang mengalami mobilitas hidup serta modernitas perilaku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar